Pada dasarnya, kehidupan berkeluarga memiliki waktu-waktu tertentu dimana setiap anggotanya dapat merasakan emosi seperti bahagia, cemas, maupun sedih. Dalam kejadian yang tidak dapat terelakkan, seperti kematian, setiap anggota keluarga dapat mengalami fase yang berbeda-beda bagi masing-masing individunya. Untuk orang-orang yang ditinggalkan, rasa kehilangan sudah pasti hinggap untuk beberapa waktu. Namun, bagaimana dengan orang yang meninggalkan? Kematian memang tidak bisa diprediksi, tetapi untuk anggota keluarga yang tahu bahwa ia akan meninggalkan keluarganya, apa yang sebenarnya dirasakan?
Dalam film “Sabtu Bersama Bapak”, penonton dapat mengetahui perasaan tokoh “Bapak” (Abimana Aryasatya) sebagai seseorang yang harus meninggalkan keluarganya lebih cepat. Disini, tokoh “Bapak” divonis oleh dokter bahwa ia menderita kanker dan hanya menceritakan hal tersebut kepada istrinya yang bernama ibu Itje (Ira Wibowo). Kedua anak mereka yaitu Satya (Arifin Putra) dan Cakra (Deva Mahendra) yang saat adanya vonis tersebut masih duduk di bangku sekolah dasar tidak tahu menahu mengenai penyakit yang diderita oleh Bapak.
Dikarenakan penyakitnya, Bapak merasa sedih dikarenakan ia terancam tidak bisa melihat kedua anaknya beranjak dewasa dan tidak bisa mengiringi mereka dalam fase-fase perkembangan di hidupnya. Bapak merasa memiliki kewajiban untuk dapat menuntun dan menjadi tempat berbagi cerita sekaligus pemberi saran ketika kedua anaknya mengalami kesulitan dalam fase tertentu. Dalam mengatasi kesedihan tersebut, Bapak membuat sejumlah video yang berisikan pesan-pesan untuk kedua anaknya.
Setelah kematian bapak, Satya dan Cakra mulai menonton video pesan-pesan tersebut setiap hari Sabtu, sepulang mereka sekolah. Pesan-pesan tersebut ditonton dari mulai mereka masih duduk di bangku sekolah dasar sampai keduanya beranjak dewasa. Pesan yang ada sekiranya mengenai saran dalam menghadapi masalah hidup, cerita yang dilontarkan Bapak, dan keduanya meresapi pesan-pesan yang diberikan oleh Bapak.
Namun, pada film ini, tidak hanya berfokus mengenai apa yang dirasakan bapak, ada pula saat-saat tertentu bahwa setiap anggota keluarga yang masih melanjutkan hidupnya juga mengalami masalah tertentu. Seperti pada Satya yang memiliki masalah saat membina rumah tangga bersama istrinya, lalu Cakra yang tidak kunjung menemukan jodoh, serta ibu Itje yang sedang merahasiakan masalah besar dalam hidupnya.
Pesan-pesan yang diberikan Bapak memang awalnya dibuat untuk membantu kedua anak serta istrinya jika menemukan kesulitan tertentu dalam kehidupan. Tetapi disini, ketiga individu tersebut menghadapi masalah yang berbeda-beda pula, dimana dibutuhkan kemampuan intrinsik masing-masing individu dalam menghadapi masalahnya masing-masing, tidak hanya sekedar bergantung dengan saran yang sudah diberikan Bapak, tapi turut mengimplementasikan makna dari saran-saran tersebut di kehidupan.
Di awal menyaksikan film “Sabtu Bersama Bapak”, sebagai penonton, saya mengira bahwa alur dari film ini akan terkesan lambat dan berputar di fase yang itu-itu saja. Tokoh “Bapak” sendiri menurut saya cukup unik, mungkin dikarenakan tokoh tersebut selalu muncul dalam alur film, namun tidak “terjun langsung” dalam menghadapi permasalahannya. Ibaratnya, tokoh “Bapak” memang terkesan menjadi tokoh utama (dilihat dari judul film ini), tetapi seiring berjalannya kehidupan anggota keluarganya, tokoh “Bapak” terasa seperti pemeran pendukung yang dengan setia akan “mengawasi” dan “melindungi” anggota keluarga tidak peduli bagaimana kondisinya. Ditinggalkan seseorang yang tersayang untuk selamanya memang bukan hal yang mudah, namun disini tokoh “Bapak” turut menemani anggota keluarganya dalam proses merelakan hal tersebut.
Film “Sabtu Bersama Bapak” selain dikemas secara apik dari segi alur juga turut memberikan banyak pesan moral yang dapat diambil untuk semua individu. Adanya tokoh “Bapak” yang terus mengiringi keluarganya meskipun sudah tidak bersama lagi, membuat penonton dapat mengambil pesan moral bahwa waktu bersama keluarga merupakan waktu yang penting untuk dihabiskan, tidak untuk dibuang begitu saja. Lalu, meskipun terdapat “absen” salah satu anggota keluarga, sudah semestinya kita harus tetap melanjutkan kehidupan serta menghadapi masalah tertentu dibandingkan terus menerus merasakan duka. Mengapa demikian? ketidakhadiran secara fisik memang tidak bisa diubah lagi, namun kenangan serta pesan tertentu yang membekas di masing-masing diri dapat dijadikan pelajaran dan panduan kita dalam melanjutkan hidup bukan?
cr. Annisa Mia
Reviewnya bagus dan menginspirasi kak, terima kasih.
Artikel yang bagus, terimakasih sharingnya, silahkan kunjungi
website kami