Pengetahuan akan membuat orang lebih memahami. Ilmu membuat orang jauh lebih mumpuni. Namun akan lebih handal lagi jika diperkaya dengan jam terbang. Begitu juga dengan profesi sebagai psikolog.
Sebagian dari kita pasti pernah mengamati para psikolog dalam melakukan akasi, baik ketika melakukan asesmen maupun ketika memberikan intervensi atau perlakuan untuk mengatasi berbagai persoalan. Diantara kita mungkin berkomentar, “Wah hebat ya, baru lihat sekilas orangnya langsung bisa menceritakan dengan detil luar dalamnya”, atau komentar “Baru bertemu setengah jam saja, orang yang tadinya bermasalah berubah jadi lebih berdaya. Wah, hebatnya..!”. Pernah mengalami yang seperti ini?
Namun di sisi lain, ada juga komentar yang tak asing lagi di telinga, semacam “Kok sudah sekian tahun kuliah, rasanya masih kagok dalam mengenali orang, apalagi memberi bantuan”. Komentar yang ini berhubungan dengan ilmu yang dienyam di bangku kuliah. Mungkin ada banyak mahasiswa yang menghentikan ilmunya hanya sampai di penghujung ujian. Pasca IP di tangan, ilmunya tak sedikitpun yang nyantol di kepala. Mengalami yang seperti ini?
Lalu apa hubungannya antara menjadi psikolog handal dengan hasil perkuliahan? Hubungannya…. Jangan berkecil hati jika memang Anda mengalami diantara persoalan yang dicontohkan sebelumnya. Misalnya, merasa tidak handal dibanding temannya, atau selepas lulus kuliah merasa dirinya psikolog yang biasa-biasa saja.
Untuk menjadi ahli, psikolog memang harus ‘berkubang’ dengan pekerjaannya, larut dalam pekerjaan dengan hatinya. Idealnya, psikolog sudah larut dalam bidangnya semenjak menetapkan diri akan menempuh studi di psikologi. Jadi, calon psikolog sudah larut dengan buku-buku (dan sumber pengetahuan lain) yang sangat terhubung erat dengan bidangnya, melakukan berbagai penelitian yang sesuai dengan minatnya di psikologi, sampai berkutat dengan kasus yang dihadapi klien saat sudah menjadikan psikologi sebagai profesi nanti.
Menjadi ahli adalah perpaduan antara teori dan praktek. Bisa dimaklumi jika masih mahasiswa, kita menggunakan buku atau modul psikologi sebagaimana layaknya primbon saja. Ambil contoh saja sebagian mahasiswa profesi psikologi, menganalisis hasil tes dengan melihat satu per satu skor dan memasangkan dengan panduan yang ada di buku yang telah dipelajarinya. Tak mengapa, toh masih dalam taraf belajar juga. Namun ketika masih melakukan cara yang seperti ini, ada baiknya kalau di bawah bimbingan atau supervisi.
Namun ketika sudah menjadi psikolog, seiring berjalannya waktu dan banyaknya klien yang ditangani, percayalah bahwa psikolog lama-lama tak perlu lagi memperlakukan bukunya seperti primbon. Tak perlu lagi melihat satu per satu fenomena dan mencocokkan dengan panduan dalam bukunya. Ketika jam terbang sudah semakin tinggi, maka kepekaan kita akan terasah. Ketika melihat orang, bercakap dengannya, melihat hasil tesnya, bahkan ketika memberikan bantuan dalam bentuk konseling atau terapi, semua akan terasa mudah.
Hal ini adalah buah perkawinan antara ilmu dan pengalaman. Jika dirumuskan, mungkin begini jadinya: Keahlian/Kehandalan = Ilmu + Pengalaman (Jam Terbang). Namun demikian, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, rumus itu tak akan berjalan efektif tanpa totalitas atau pelibatan hati dalam setiap aksi yang kita lakukan. Seorang psikolog harus total dalam belajar dan total dalam mengaplikasikan. Maka percayalah, kita akan menjadi semakin ahli di bidang kita.
Nah, sekarang, apakah Anda sudah menjadi psikolog yang mengawinkan ilmu dan pengalaman dengan bekerja secara total?